UNIMALNEWS | Lhokseumawe – Dosen Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Dr Teuku Kemal Fasya, menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Nobar SaDis (Nonton Bareng Sambil Diskusi) yang diselenggarakan KontraS Aceh berkolaborasi dengan Yayasan Solidaritas Aksi Peduli (YSAP) Foundation. Acara berlangsung di Aula Lantai 3 Kantor Wali Kota Lhokseumawe, Sabtu (30/8/2025).
Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa, masyarakat umum, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta sejumlah pengungsi Rohingya.
Film dokumenter yang ditayangkan berjudul "Resisting Hate", produksi Rohingya Maiyafuinor Collaborative Network (RMCN). Film ini mengangkat sisi lain dari realita kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingya yang selama ini jarang diketahui publik.
Selain Dr Teuku Kemal Fasya, narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Yasminullah, perwakilan RMCN sekaligus keturunan Rohingya yang kini menetap di Kanada, serta Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh. Acara dimoderatori oleh Agustia Rahmi, Founder YSAP Foundation.
Dalam pemaparannya, Dr Teuku Kemal Fasya menilai film dokumenter ini menggambarkan realitas konflik di Myanmar yang tidak lepas dari kasus kekerasan, pembakaran hingga pembatasan hak hidup bagi etnis Rohingya.
“Sudah banyak kita dengar bahwa etnis Rohingya di Myanmar mengalami genosida oleh pihak militer. Mereka adalah etnis minoritas yang tidak diberi hak akses apa pun, baik pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, maupun bantuan kemanusiaan,” ungkap Kemal.
Ia menambahkan, penderitaan panjang etnis Rohingya tidak hanya terjadi di tanah kelahiran mereka di Arakan, Myanmar, tetapi juga berlanjut di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh, hingga di Aceh.
“Mereka tetap mengalami penderitaan batin, meski telah sampai di Aceh,” terangnya.
Sementara itu, Yasminullah menjelaskan bahwa film dokumenter ini dibuat untuk membuka mata masyarakat tentang kondisi sebenarnya yang dialami etnis Rohingya di Myanmar.
Azharul Husna dalam pemantik diskusinya menyoroti penolakan yang belakangan muncul di masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya.
“Penolakan banyak terjadi di media sosial seperti TikTok dan Instagram, bahkan juga melalui aksi demonstrasi di lokasi pendaratan maupun kamp pengungsian,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman publik tentang siapa etnis Rohingya, alasan mereka tiba di Aceh, serta tujuan kedatangan mereka.
“Rohingya datang ke Aceh bukan karena pilihan, melainkan karena terpaksa. Mereka kehilangan hak sebagai manusia, mengalami kekerasan fisik dan mental. Siapa pun tentu ingin tinggal dengan aman di kampung halamannya, tetapi kondisi di sana justru mengancam keselamatan dan nyawa mereka,” pungkasnya. [fzl]



